Skip to main content

Belajar dari Bulan November


Oleh Luthfi Widagdo Eddyono

Bulan November merupakan bulan yang penting bagi dua negara, yaitu Jerman dan Indonesia. Bagi Jerman, bulan November merupakan bulan “Runtuhnya Tembok Berlin”. Bagi Indonesia, bulan November merupakan bulan yang memperingati hari Pahlawan yang penting dalam sejarah republik dalam mempertahankan kemerdekaannya.

Tembok Berlin adalah tembok yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur selama 28 tahun, yaitu sejak Agustus 1961 sampai November 1989. Tembok yang panjangnya 156 kilometer tersebut berada tepat di tengah kota Berlin. Selama itu pula penduduk Jerman Timur tidak diperbolehkan berkunjung ke Jerman Barat tanpa ijin khusus. Tembok itu benar-benar memisahkan ideologi, cara hidup, dan bahkan hubungan kekeluargaan. 

Tepat pada 9 November 1989 lalu, penduduk Berlin telah diperbolehkan untuk saling berkunjung melewati tembok bersejarah itu. Tanggal itu sebagai hari bersejarah bagi Jerman karena merupakan titik mula reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur pada 3 Oktober 1990. Tahun ini adalah 25 tahun peringatan “Fall of the Wall”. Bradenburg Gate pun dijadikan simbol reunifikasi Jerman.

Bagi Indonesia, bulan November sangat penting dalam sejarah republik. Pada tahun 1945, bulan itu adalah bulan peperangan, revolusi fisik, dan pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan. Puncaknya pada tanggal 10 November 1945 yang merupakan hari ultimatum Tentara Inggris yang tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang juga membonceng Netherlands Indies Civil Administration (NICA) agar pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan juga menghentikan perlawanan.

Pertempuran terjadi dalam skala besar yang disebutkan terjadi hampir tiga minggu mengorbankan ribuan jiwa pejuang dan warga sipil. Kejadian demikian dikenang sebagai Hari Pahlawan bagi Republik Indonesia. Dalam peringatan Hari Pahlawan tahun ini, salah seorang tokoh yang berjasa dalam peristiwa revolusi di Surabaya, yaitu H.R. Mohammad Mangoendprojo turut mendapat gelar Pahlawan Nasional. Selain itu, Letjen (Purn.) Djamin Ginting, Sukarni Karto Kartodiwirjo, dan Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah juga dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional Tahun 2014 oleh Presiden Joko Widodo.

Penganugerahan gelar pahlawan nasional tahun 2014 dikeluarkan melalui Keputusan Presiden yang memberi kriteria, “Anugerah Pahlawan Nasional kepada mereka sebagai penghargaan yang tinggi atas jasa-jasanya yang luar biasa, yang semasa hidupnya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata, atau perjuangan politik atau dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, dan mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan, dan mengisi kemerdekaan, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa”.

Belajar dari Sejarah dan Pengalaman
Sejarah Jerman dan pengalaman pertempuran Surabaya patut menjadi acuan kita dalam memandang diri dan masa depan bangsa. Pemisahan secara dikotomis atas ideologi dan cara pandang politik di Jerman jangan sampai terjadi di Indonesia. Pertempuran Surabaya yang dijadikan Hari Pahlawan patut menjadi motivasi agar segala tindakan kita hendaknya didasarkan atas kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.

Khususnya dalam memahami konteks sekarang pasca pemilihan umum 2014, yaitu kondisi di Dewan Perwakilan Rakyat yang telah terbelah secara dikotomis. Hal demikian telah menjadi fakta hukum dan politik yang harus disikapi karena jalannya pemerintahan dalam skala tertentu dapat terganggu. Perlu disadari kondisi politik saat ini merupakan salah satu prediksi Mahkamah Konstitusi yang telah memutuskan agar pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden/wakil presiden dilaksanakan serentak pada pemilihan umum tahun 2019.

Dalam Putusan 14/PUU-XI/2013 yang dibacakan pada 23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi menyebutkan, pemilihan umum yang tidak serentak dilakukan memiliki kencenderungan untuk tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi, yaitu sistem presidensial. “Dalam praktiknya, model koalisi yang dibangun antara partai politik dan/atau dengan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden justru tidak memperkuat sistem pemerintahan presidensial.”

Akan tetapi, agar pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2014 tidak mengalami kekacauan dan malah menimbulkan ketidakpastian hukum, Mahkamah Konstitusi menetapkan pemilihan umum serentak dilaksanakan pada tahun 2019. Hal ini memberi harapan yang kuat bahwa pada periode berikutnya kondisi parlemen seperti saat ini tidak akan terjadi, karena logis dengan pemilihan yang serentak, pendukung salah satu calon presiden/wakil presiden akan memilih anggota parlemen pendukung calon presiden/wakil presiden yang disukainya itu. Dengan demikian, pemerintahan presiden/wakil presiden akan lebih kuat dan cenderung berhasil menjalankan program-program pemerintahannya.

Untuk periode pemerintahan saat ini dapat dipastikan dari awal hingga berakhir, pemerintahan akan kerap “terganggu”. Harapan kita kondisi demikian tidak akan sampai memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga pemisahan Jerman Timur dan Jerman Barat pada tahun 1961 tidak terjadi di Indonesia. Setiap politisi perlu memahami nilai kepahlawanan yang telah ditunjukkan para pahlawan kita khususnya para pejuang kemerdekaan pada tahun 1945. Itulah pelajaran yang dapat kita raih di bulan November ini.

Comments

Popular posts from this blog

Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi

Judul Buku : Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi Penulis : Luthfi Widagdo Eddyono Penerbit : Insignia Strat Cetakan Pertama , Maret 2013 Terbitan Online :  http://bit.ly/11IgInD Buku ini menceritakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam penyelesaian perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Baik Mahkamah Konstitusi, maupun sengketa kewenangan lembaga negara merupakan hal yang baru dalam konsepsi ketatanegaraan Indonesia akibat perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 yang menguatkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi ( checks and balances ) antarlembaga negara. Tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara dan dipahaminya kedudukan setara antarlembaga negara menciptakan potensi konflik antarlembaga negara tersebut. Karenanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman baru, diberi wewenang untuk menentukan siapa lembaga negara yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan UUD 1945. Buku ini ak

Ichibangase Yoshio, Bayang-Bayang Kemerdekaan Indonesia

Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Saat ini sulit untuk mengetahui keberadaan Ichibangase Yoshio, padahal pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, dia adalah orang yang memiliki jabatan yang penting. Ichibangase Yoshio (namanya dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan [EYD] adalah Itibangase Yosio) berkebangsaan Jepang dan menjadi Ketua Muda ( Hoekoe Kaityoo ) atau Wakil Ketua Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai atau Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). BPUPK adalah sebuah lembaga yang diumumkan mula keberadaannya pada tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada yang pengangkatan pengurus dan anggota diumumkan (dilantik) pada 29 April 1945 oleh Yuichiro Nagano (pengganti Harada) bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang. BPUPK beranggotakan 62 orang dengan Ketua dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, serta Wakil Ketua Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio (anggota istimewa) dan terdapat terdapat tujuh orang an

Legal Maxims, Blacks Law Dictionary, 9th edition.

dikutip dari: http://tpuc.org/forum/viewtopic.php?f=17&t=13527 Maxime ita dicta quia maxima estejus dignitas et certissima auctoritas, atque quod maxime omnibus probetur – A maxim is so called because its dignity is cheifest and its authority is the most certain, and because it is most approved by all. Regula pro lege, si deficit lex – If the law is inadequate, the maxim serves in its place. Non jus ex regula, sed regula ex jure – The law does not arise from the rule (or maxim), but the rule from the law. Law: Home ne sera puny pur suer des breifes en court le roy, soit il a droit ou a tort. – A person shall not be punished for suing out writs in the Kings court, whether the person is right or wrong. Homo vocabulum est naturae; persona juris civilis. – Man (homo) is a term of nature: “person” (persona), a term of civil law. Omnis persona est homo, sed non vicissim – Every person is a human being, but not every human being is a person. Persona est homo cum statu quodam consideratus